<html xmlns:v="urn:schemas-microsoft-com:vml" xmlns:o="urn:schemas-microsoft-com:office:office" xmlns:w="urn:schemas-microsoft-com:office:word" xmlns:st1="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" xmlns="http://www.w3.org/TR/REC-html40">
<head>
<meta http-equiv=Content-Type content="text/html; charset=us-ascii">
<meta name=Generator content="Microsoft Word 11 (filtered medium)">
<!--[if !mso]>
<style>
v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}
</style>
<![endif]-->
<title>Message</title>
<o:SmartTagType namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"
name="City" downloadurl="http://www.5iamas-microsoft-com:office:smarttags"/>
<o:SmartTagType namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"
name="place" downloadurl="http://www.5iantlavalamp.com/"/>
<!--[if !mso]>
<style>
st1\:*{behavior:url(#default#ieooui) }
</style>
<![endif]-->
<style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"MS Mincho";
panose-1:2 2 6 9 4 2 5 8 3 4;}
@font-face
{font-family:Tahoma;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;}
@font-face
{font-family:"Arial Narrow";
panose-1:2 11 5 6 2 2 2 3 2 4;}
@font-face
{font-family:"\@MS Mincho";
panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";}
a:link, span.MsoHyperlink
{color:blue;
text-decoration:underline;}
a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed
{color:blue;
text-decoration:underline;}
p
{mso-margin-top-alt:auto;
margin-right:0in;
mso-margin-bottom-alt:auto;
margin-left:0in;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman";}
span.EmailStyle18
{mso-style-type:personal;
font-family:Tahoma;
color:blue;
font-weight:normal;
font-style:normal;
text-decoration:none none;}
span.EmailStyle19
{mso-style-type:personal-reply;
font-family:Arial;
color:navy;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<o:shapedefaults v:ext="edit" spidmax="1026" />
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<o:shapelayout v:ext="edit">
<o:idmap v:ext="edit" data="1" />
</o:shapelayout></xml><![endif]-->
</head>
<body lang=EN-US link=blue vlink=blue>
<div class=Section1>
<p class=MsoNormal><font size=2 color=navy face=Arial><span style='font-size:
10.0pt;font-family:Arial;color:navy'><o:p> </o:p></span></font></p>
<p class=MsoNormal><font size=2 color=navy face=Arial><span style='font-size:
10.0pt;font-family:Arial;color:navy'><o:p> </o:p></span></font></p>
<div>
<div class=MsoNormal align=center style='text-align:center'><font size=3
face="Times New Roman"><span style='font-size:12.0pt'>
<hr size=2 width="100%" align=center tabindex=-1>
</span></font></div>
<p class=MsoNormal><b><font size=2 face=Tahoma><span style='font-size:10.0pt;
font-family:Tahoma;font-weight:bold'>From:</span></font></b><font size=2
face=Tahoma><span style='font-size:10.0pt;font-family:Tahoma'> Edy
[mailto:Edy@taf.co.id] <br>
<b><span style='font-weight:bold'>Sent:</span></b> Tuesday, March 24, 2009 1:58
PM<br>
<b><span style='font-weight:bold'>To:</span></b> anita.megayanti@gmail.com;
linda.kumalawati@jayakonstruksi.com; rinie@bas.co.id<br>
<b><span style='font-weight:bold'>Subject:</span></b> teliti dulu sebelum
membeli obat resep</span></font><o:p></o:p></p>
</div>
<p class=MsoNormal><font size=3 face="Times New Roman"><span style='font-size:
12.0pt'><o:p> </o:p></span></font></p>
<div>
<p class=MsoNormal><font size=2 face=Tahoma><span style='font-size:10.0pt;
font-family:Tahoma'><br>
</span></font> <o:p></o:p></p>
</div>
<p class=MsoNormal><font size=2 color=blue face=Tahoma><span style='font-size:
10.0pt;font-family:Tahoma;color:blue'>Jadi bingung…mau ke dokter apa ke
ponari…<o:p></o:p></span></font></p>
<p class=MsoNormal><font size=3 face="Times New Roman"><span style='font-size:
12.0pt'><o:p> </o:p></span></font></p>
<p class=MsoNormal><font size=3 face="Times New Roman"><span style='font-size:
12.0pt'><br>
</span></font><b><font size=2 face="Arial Narrow"><span style='font-size:10.0pt;
font-family:"Arial Narrow";font-weight:bold'>BENARKAH SEDEMIKIAN PARAHNYA
KONDISI </span></font></b><br>
<b><font size=2 face="Arial Narrow"><span style='font-size:10.0pt;font-family:
"Arial Narrow";font-weight:bold'>PELAYANAN RUMAH SAKIT KITA ? WASPADALAH !</span></font></b>
<br>
<font size=2 face="Arial Narrow"><span style='font-size:10.0pt;font-family:
"Arial Narrow"'> </span></font> <o:p></o:p></p>
<p style='margin-bottom:12.0pt'><font size=2 face="Arial Narrow"><span
style='font-size:10.0pt;font-family:"Arial Narrow"'>Halo rekan-rekan,<br>
<br>
Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta<br>
rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan<br>
Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu
mengenai 'caveat venditor'<br>
(produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) .z<br>
<br>
Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya
yang sakit<br>
demam berdarah (DBD). Saya buatkan <st1:place w:st="on"><st1:City
style="BACKGROUND-POSITION: left bottom; BACKGROUND-IMAGE: url(res://ietag.dll/#34/#1001); BACKGROUND-REPEAT: repeat-x"
w:st="on">surat</st1:City></st1:place> pengantar untuk dirawat inap di<br>
salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD<br>
saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui,
jadi<br>
sangat saya tau perkembangan kondisinya.<br>
<br>
Abang saya paksa dirawat inap karena
trombositnya 82 ribu, agak<br>
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah
sehat, nggak<br>
demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas.
Mulai di UGD sudah<br>
'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas<br>
di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an
& pertanyaan<br>
dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun
diperiksa<br>
ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap
sama,<br>
82 ribu.<br>
<br>
Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru<br>
tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat
baik. Lalu saya tenangkan<br>
bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus
disuntik<font color=maroon><span style='color:maroon'><br>
obat Ranitidin</span></font> (<font color=maroon><span
style='color:maroon'>obat untuk penyakit lambung</span></font>),
padahal dia nggak sakit<br>
lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini
disuntikkan ketika<br>
saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.<br>
<br>
Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal<br>
besok paginya dokter penyakit dalam akan
berkunjung & biasanya obatnya<br>
pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak
tepat untuk DBD.<br>
Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya
ke<br>
teman yang praktik di RS tersebut
dipilihkan yang dia rekomendasikan,<br>
katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap
di RS tersebut,<br>
jadi pagi-sore selalu ada di RS.<br>
<br>
Malamnya via telepon dokter penyakit dalam
beri instruksi periksa lab<br>
macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak
nyambung', jadi saya<br>
minta Abang untuk hanya setujui sebagian
yang masih rasional.<br>
<br>
Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visit & nggak<br>
komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak..
Saya diminta perawat<br>
untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung
bingung,<br>
di resep tertulis <font color=maroon><span style='color:maroon'>obat
Ondansetron suntik</span></font>, <font color=maroon><span
style='color:maroon'>obat mual/muntah untuk orang<br>
yang sakit kanker & menjalani kemoterapi</span></font>. Padahal Abang
nggak mual apalagi<br>
muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena<br>
Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan
lagi<br>
padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak..<br>
<br>
Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang
saya<br>
lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya<br>
hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.<br>
<br>
Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat
suntiknya mana?',<br>
saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah<br>
seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya
dokter<br>
& saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya<br>
pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station &
diminta tandatangani<br>
<st1:place w:st="on"><st1:City
style="BACKGROUND-POSITION: left bottom; BACKGROUND-IMAGE: url(res://ietag.dll/#34/#1001); BACKGROUND-REPEAT: repeat-x"
w:st="on">surat</st1:City></st1:place> refusal consent (penolakan pengobatan)
oleh kepala perawat.<br>
<br>
Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar,
jadi harus pasien yang<br>
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara<br>
dokter saat visite nggak jelaskan apapun
mengenai obat-obat yang dia<br>
berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.<br>
<br>
Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya
ternyata sakit DBD<br>
juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang
mahal &<br>
sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung
dia ada<br>
infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam
yang<br>
lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya
ngomong<br>
'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan
saja dulu terapinya',<br>
visit nggak sampai 3 menit saya hitung.<br>
<br>
Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visit
kembali & nggak<br>
komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia
resepkan... Dia hanya<br>
ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh
pulang. Saya jadi<br>
membayangkan nggak heran Ponari dkk laris,
karena dokter pun ternyata<br>
pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa
diracun<br>
oleh obat-obat yang nggak diperlukan &
dibuat 'miskin' untuk membeli<br>
obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli
yang sudah<br>
'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak
menjelaskan pada pasien<br>
sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul
& menunggu berjam-jam<br>
hanya untuk menunggu dokter visit.<br>
<br>
Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya<br>
yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang
juga merasa<br>
bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia
perlukan &<br>
jadi racun di tubuhnya.<br>
<br>
Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang
dirawat<br>
inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu <st1:City
w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:City> kecil<br>
Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi
pula, sangat banyak<br>
obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.<br>
<br>
Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat<br>
kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga<br>
bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk
rekan-rekan semua agar<br>
berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.<br>
<br>
<br>
<br>
</span></font><o:p></o:p></p>
</div>
</body>
</html>