[Jaya Konstruksi MP] FW: teliti dulu sebelum membeli obat resep

Linda Kumalawati linda.kumalawati at jayakonstruksi.com
Tue Mar 24 19:13:42 WIB 2009


 

 

  _____  

From: Edy [mailto:Edy at taf.co.id] 
Sent: Tuesday, March 24, 2009 1:58 PM
To: anita.megayanti at gmail.com; linda.kumalawati at jayakonstruksi.com;
rinie at bas.co.id
Subject: teliti dulu sebelum membeli obat resep

 


 

Jadi bingung.mau ke dokter apa ke ponari.

 


BENARKAH SEDEMIKIAN PARAHNYA KONDISI 
PELAYANAN RUMAH SAKIT KITA ? WASPADALAH ! 
  

Halo rekan-rekan,

Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta
rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan
Julianto  di  Kompas  4  Maret  2009 lalu, yaitu mengenai 'caveat venditor'
(produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) .z

Ceritanya  begini,  beberapa  hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit
demam  berdarah  (DBD).  Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di
salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD
saya  temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi
sangat saya tau perkembangan kondisinya.

Abang   saya   paksa   dirawat  inap  karena  trombositnya  82  ribu,  agak
mengkuatirkan,  padahal  dia  menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak
demam,  nggak  mual,  hanya  merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah
'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas
di  RS,  jadi  saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan
dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun diperiksa
ulang  darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap sama,
82 ribu.

Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru
tes  EKG  dengan  treadmill  dengan  hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan
bahwa  itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik
obat  Ranitidin  (obat  untuk  penyakit  lambung),  padahal dia nggak sakit
lambung,  &  nggak  mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika
saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal
besok  paginya  dokter  penyakit  dalam  akan berkunjung & biasanya obatnya
pasti  ganti  lagi.  Belum  lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD.
Jadi  resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke
teman  yang  praktik  di  RS  tersebut  dipilihkan yang dia rekomendasikan,
katanya  'bagus  &  pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut,
jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya  via  telepon  dokter  penyakit  dalam  beri instruksi periksa lab
macam-macam,  setelah  saya  lihat  banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya
minta   Abang   untuk   hanya   setujui   sebagian   yang  masih  rasional.

Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visit & nggak
komentar  apapun  soal  pemeriksaan  lab yang ditolak.. Saya diminta perawat
untuk  menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung bingung,
di  resep  tertulis  obat Ondansetron  suntik, obat mual/muntah untuk orang
yang  sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual apalagi
muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena
Abang  nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi
padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak..

Saya  sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya
lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya
hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.

Pas  saya  serahkan  obatnya  ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?',
saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah
seperti  menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter
& saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya
pada  saya.  Malah  saya  dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani
surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.

Saya  beritau  saja  bahwa  pasien  100%  sadar,  jadi  harus  pasien  yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara
dokter  saat  visite  nggak  jelaskan  apapun  mengenai  obat-obat yang dia
berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.

Saat  saya  tunggu  Abang,  pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD
juga.  Ternyata  dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal &
sudah  2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada
infeksi  bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang
lain.  Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong
'sakit  ya?',  'masih  panas?',  'ya  sudah lanjutkan saja dulu terapinya',
visit nggak sampai 3 menit saya hitung.

Besoknya  dokter  penyakit  dalam  yang tangani Abang visit kembali & nggak
komentar  apapun  soal  penolakan membeli obat yang dia resepkan... Dia
hanya
ngomong  bahwa  kalau  trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi
membayangkan  nggak  heran  Ponari  dkk  laris,  karena dokter pun ternyata
pengobatannya  nggak  rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun
oleh  obat-obat  yang  nggak  diperlukan  &  dibuat  'miskin' untuk membeli
obat-obat  yang  mahal  tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah
'dibayar'  cukup  mahal  ternyata  nggak  banyak  menjelaskan  pada  pasien
sementara  kadang  kala  keluarga  sengaja  berkumpul & menunggu berjam-jam
hanya untuk menunggu dokter visit.

Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya
yang  dokter  supaya  nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa
bersyukur  nggak  jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan &
jadi racun di tubuhnya.

Sebulan  lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat
inap  di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil
Jateng  akibat  sakit  tifoid.  Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak
obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

Kalau  ini  nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat
kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga
bisa  berguna  sebagai  pelajaran  berharga  untuk  rekan-rekan  semua agar
berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.





-------------- next part --------------
An HTML attachment was scrubbed...
URL: <http://jayakonstruksi.com/pipermail/milis_jkmp_jayakonstruksi.com/attachments/20090324/c4f5d37c/attachment.html>


More information about the milis_jkmp mailing list